Beranda | Artikel
Menurut Sufi, Sebagian Orang Tidak Perlu Beribadah Lagi?!
Sabtu, 1 Juni 2013

MENURUT SUFI, SEBAGIAN ORANG TIDAK PERLU BERIBADAH LAGI (?!)

Oleh
Ustadz Abu Minhal

Ketika seseorang (atau suatu golongan) tidak berpijak pada nash syar’i dengan pemahaman yang lurus, tidak mengherankan bila kemudian akan muncul pemahaman, keyakinan, perilaku, bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan syariat, bahkan juga benar-benar bertentangan dengan syariat. Naûdzubillâh minal khudzlân

Sebut saja golongan Sufi yang cukup mendominasi di tengah masyarakat. Golongan satu ini sebenarnya sarat dengan –kalau boleh dikatakan- keanehan-keanehan yang jelas bertabrakan dengan syariat yang dibawa Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Salah satu pandangan (keyakinan) mereka, ada sebagian orang yang tidak perlu lagi menjalankan syariat Allâh Azza wa Jalla atas dirinya di kehidupan dunia ini. Kedekatan kepada Allâh lah yang membuat hukum taklîf gugur dari pundak mereka. Kewajiban shalat lima waktu, zakat dan kewajiban-kewajiban lain yang terkandung dalam seluruh perintah Allâh Azza wa Jalla gugur atasnya demi kedudukannya yang tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla . Bahkan tidak ini saja, mereka juga memandang sosok-sosok ‘istimewa’ ini boleh melakukan tindakan haram, seperti zina, minum khomr dan perbuatan lain yang secara dzat memang haram dalam syariat Islam.

Ibnu Hazm rahimahullah menerangkan tentang keanehan keyakinan Sufi tersebut. Beliau rahimahullah mengatakan, “Satu sekte Sufi mengklaim bahwa wali-wali Allâh Azza wa Jalla itu lebih utama ketimbang seluruh nabi dan rasul(?!). Mereka mengatakan, “Siapa saja telah mencapai derajat tertinggi dalam kewalian, niscaya seluruh (tanggungan) syariat gugur pada dirinya seperti shalat (lima waktu), puasa (Ramadhân), (membayar) zakat dan lainnya. Perkara-perkara haram semisal zina, minum khamer dan lainnya menjadi halal bagi dirinya. Akibatnya, mereka ini pun menghalalkan menggauli istri-istri orang.”[1]

Inilah aqidah yang sering kali dipakai oleh sebagian masyarakat untuk membela sosok yang mereka tokohkan bila melakukan hal-hal yang tampak jelas melanggar syariat. Mereka mengatakan, “Dia khan wali Allâh, sudah mencapai ma’rifat”. Atau mengelu-elukan seseorang dengan ekstra dengan satu alasan, lantaran telah mencapai derajat ma’rifah meski secara lahiriah tidak tampak dirinya berkomitmen dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

HUKUM KEYAKIAN INI
Sungguh aneh, seseorang bisa bebas dari tanggungan ibadah dan bebas melanggar syariat Ilahi dengan dalih telah mencapai derajat tinggi di sisi Rabbnya. Berdasarkan logika sehat saja, pandangan di atas sudah dapat disimpulkan hukumnya dalam Islam. Keyakinan di atas secara tidak langsung mendustakan sejarah yang menyebutkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat , insan-insan yang jelas jauh lebih baik dari mereka, tetap beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla sampa akhir hayat. Bagaimana mungkin seorang hamba Allâh Azza wa Jalla di dunia ini akan mencapai sebuah fase dimana ia bebas lepas dari aturan syariat?! Karenanya, tidak heran bila keyakinan ini di vonis kufur, dhalâl (sesat) dan jahl (kebodohan nyata). [2]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menilainya dengan vonis kufur dan ilhâd (menyimpang) dari agama Islam. Setelah menukil perkataan salah seorang mereka yang mengatakan, “Kedekatan haqiqi memindahkan seorang hamba dari kondisi zhahir kepada alam batin serta mengistirahatkan tubuh dan anggota badan dari kelelahan akibat beramal (ibadah),” selanjutnya beliau t mengatakan, “Kekufuran dan penyimpangan mereka ini sangat besar. Sebab, telah menyingkirkan ‘ubûdiyah (dari manusia) dan berkeyakinan bahwa mereka itu tidak perlu lagi melakukan ibadah karena merasa telah puas dengan khayalan-khayalan batil yang berasal dari angan-angan dan tipu daya setan.” [3]

IBADAH KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA, KEWAJIBAN SAMPAI AJAL TIBA
Manusia sebagai hamba Allâh Azza wa Jalla , berkewajiban mengabdikan diri kepada al-Khâliq dengan berbagai macam cara yang sudah ditentukan oleh-Nya. Dunia sebagai ladang akhirat juga menguatkan akan hal ini, bahwa penghambaan manusia kepada Allâh Azza wa Jalla Rabbul Alamin tidak boleh berhenti kecuali ketika nafasnya telah dihentikan. Tentang kewajiban beribadah selama hayat masih di kandung badan, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan beribadah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) [al-Hijr/15:99]

Inilah ayat yang disalahpahami oleh mereka. Mereka mengartikan al-yaqîn dengan ma’rifah. Ini jelas tidak bersandar pada apapun yang dibenarkan dalam menafsirkan ayat. Berdasarkan ayat ini, menjalankan ibadah seperti shalat dan lainnya tetap wajib hukumnya atas setiap insan selama akal sehat (tetap ada). Khusus tentang kewajiban melaksanakan shalat, maka shalat itu dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang disanggupi. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Imrân bin Hushain z , Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Kerjakanlah shalat dengan berdiri, bila tidak mampu, (kerjakan) dengan duduk. Bila tidak mampu (kerjakan) dengan berbaring [HR. al-Bukhâri no. 1117][4]

Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjadi dalil kesalahan kaum mulhid (pelaku kekufuran) yang berpendapat bahwa pengertian al-yaqîn (dalam al-Hijr 15/99) adalah ma’rifah. (Sehingga menurut versi mereka) siapa saja yang telah mencapai derajat ma’rifah, maka tanggungan (taklîf)nya gugur. Ini adalah bentuk kekufuran, kesesatan dan kebodohan. Para nabi ‘alaihimus salâm dan para sahabat mereka merupakan orang-orang yang paling mengenal Allâh Azza wa Jalla , paling tahu hak-hak dan sifat-sifat-Nya dan segala bentuk pengagungan yang menjadi hak Allâh Azza wa Jalla , meski demikian mereka adalah insan-insan yang paling tinggi penghambaan dirinya kepada Allâh Azza wa Jalla dan paling banyak beribadah dan berbuat kebaikan sampai ajal datang. Yang dimaksud dengan al-yaqîn di sini adalah kematian, seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya”.[5]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,, “Sesungguhnya, semakin dekat seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla , maka jihâdnya (kesungguhannya dalam beribadah) akan lebih besar” Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allâh dengan jihad yang sebenar-benarnya. [al-Hajj/22:78]

Kemudian beliau t menjadikan potret kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat sebagai bukti nyata. Beliau t berkata, “Cermatilah kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat. Ketika mereka kian menapaki derajat kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla (yang tinggi), maka kesungguhan mereka dalam beribadah semakin tinggi”.

PENUTUP
Menafsirkan ayat bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan perangkat banyak yang harus dikuasai seseorang untuk dapat menafsirkan ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla , termasuk di dalamnya mengenal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya telah memberitahukan bahwa al-yaqîn bermakna kematian, bukan ma’rifah. Wallâhu a’lam

Daftar Pustaka:
1. Bayâni Mauqifil Ibnil Qayyim min Ba`zhil Firaq, DR. ‘Awwâd bin ‘Abdullâh al-Mu’tiq hlm. 141-143
2. Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm, Imam Ibnu Katsîr, Dar Thaiba 4/553-554

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Fashl 4/226
[2]. Lihat Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm 4/554
[3]. Madârijus Sâlikîn 3/118
[4]. Lihat Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm 4/554
[5]. Tafsîrul Qur`ânil ‘Azhîm 4/553
[6]. Madârijus Sâlikîn 3/118


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3629-menurut-sufi-sebagian-orang-tidak-perlu-beribadah-lagi.html